
Hi minna san..
Selamat datang kembali di aisywijaya.my.id. Biasanya, di space ini, kita ngapain? Kita geek out. Kita bedah chipset terbaru, kita debatin soal refresh rate layar, dan aku bakal ngomel-ngomel soal bloatware di HP baru. Aku hidup di dunia gigahertz, megapixels, dan fast charging. Pekerjaanku adalah mengukur dunia lewat spesifikasi teknis dan user experience (UX) sebuah gawai.
Tapi hari ini, aku mau melakukan sesuatu yang sedikit… berbeda.
Bagi kalian yang mungkin baru pertama kali mampir, atau yang kenal aku di luar blog ini, kalian mungkin juga kenal aku dengan nama “Kak Aisyah”. Yup, selain jadi tech reviewer yang hobi ngoprek gadget, aku adalah seorang pendongeng remaja. Aku menghabiskan akhir pekanku bukan dengan benchmark AnTuTu, tapi dengan boneka tangan (namanya Jaji), buku cerita, dan sekelompok anak-anak yang matanya berbinar-binar.

Dua dunia ini—dunia digital yang dingin dan logis, serta dunia dongeng yang hangat dan penuh imajinasi—terkadang terasa bertolak belakang. Tapi baru-baru ini, aku “menemukan” seseorang yang menjembatani dua dunia ini dengan cara yang luar biasa.
Aku mau “mereview” sebuah “teknologi” yang jauh lebih tua, lebih kuat, dan punya dampak lebih besar daripada smartphone flagship termahal sekalipun. Teknologi ini adalah dongeng. Dan “developer” yang akan kita bahas adalah seorang pahlawan sejati dari timur Indonesia: Eklin Amtor de Fretes.
Spesifikasi “Hardware”: Maluku, Anak-anak, dan Hati yang Lapang
Sebagai reviewer, aku selalu mulai dari unboxing dan melihat build quality. “Hardware” Kak Eklin bukanlah sasis aluminium atau layar Gorilla Glass. “Hardware” yang ia gunakan adalah dirinya sendiri, dan “medan tempur”-nya adalah salah satu yang paling menantang di Indonesia: Maluku.
Kita semua tahu Maluku itu indah. Lautnya, pantainya, surgawi. Tapi kita yang membaca sejarah juga tahu bahwa Maluku pernah melewati masa-masa kelam. Ada luka konflik komunal yang dalam di sana. Luka yang, jika tidak diobati, bisa diwariskan dari generasi ke generasi.
Di sinilah Kak Eklin beroperasi. “Area jangkauannya” bukan sebatas sinyal 5G di perkotaan. Ia adalah seorang pendongeng keliling. Ia rela berlayar dari satu pulau ke pulau lain, menembus desa-desa terpencil, hanya untuk bertemu dengan “target audiens”-nya: anak-anak.
Baterainya? Bukan lithium-ion 5000 mAh. Baterainya adalah tekad. Portabilitasnya? 100%. Ia membawa “aplikasinya” ke mana pun ia melangkah. Ini adalah level “endurance test” yang bikin semua review uji baterai HP-ku terlihat seperti mainan anak-anak.
Ketika aku, sebagai Kak Aisyah di Malang, kadang masih mengeluh soal sound system yang jelek atau ruangan yang panas saat mendongeng, Kak Eklin menghadapi ombak, cuaca tak menentu, dan medan yang sulit. Tujuannya satu: memberikan “koneksi” paling premium yang tidak bisa ditawarkan oleh provider internet mana pun.

“Software” Paling Mutakhir: Dongeng Sebagai OS Perdamaian
Oke, sekarang kita bahas “software”-nya. Ini bagian favoritku.
Kita di dunia teknologi terobsesi dengan Operating System (OS) terbaru. Android 15, iOS 19, apapun itu. Kita mencari OS yang paling cepat, paling aman, dan paling intuitif. Tapi kita lupa, manusia punya OS-nya sendiri. OS paling orisinal yang mentransfer data, nilai, dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. OS itu bernama cerita.
Dan Kak Eklin adalah seorang “developer” jenius untuk OS ini.
Di Maluku yang punya latar belakang trauma, “malware” seperti kebencian, prasangka, dan curiga antar-kelompok bisa dengan mudah menginfeksi “sistem” anak-anak. Apa yang dilakukan Kak Eklin? Ia tidak datang membawa buku teks sosiologi yang kaku. Ia datang membawa “firmware update” yang paling ampuh: dongeng kreatif.
Ia tidak hanya membacakan cerita “Kancil dan Buaya”. Ia merancang “kode” ceritanya sendiri. Ia memasukkan nilai-nilai kearifan lokal Maluku. Ia menciptakan karakter-karakter yang mengajarkan tentang beta (saya) dan ale (kamu) adalah satu, bahwa perbedaan itu bukan untuk dibenci, tapi untuk dirayakan. Ia “menginstal” program toleransi, empati, dan perdamaian langsung ke dalam “hard drive” paling reseptif di dunia: pikiran seorang anak.
Sebagai sesama pendongeng, aku tahu ini GAK GAMPANG. Sumpah. Menjaga atensi 10 anak selama 30 menit saja butuh energi luar biasa. Kak Eklin melakukan ini untuk ratusan anak, di tengah keterbatasan fasilitas, dengan misi yang jauh lebih berat: menyembuhkan luka dan merajut masa depan.
Dia menggunakan boneka tangan, alat peraga sederhana, dan kemampuan aktingnya yang luar biasa untuk menciptakan “interface” yang paling user-friendly. Anak-anak tidak merasa sedang diajari. Mereka merasa sedang diajak berpetualang. Ini adalah gamifikasi level tertinggi.
“User Experience” (UX) yang Tak Tertandingi
Sebagai Aisy si reviewer gadget, aku terobsesi dengan User Experience. Apakah interface-nya mulus? Apakah haptic feedback-nya memuaskan? Apakah layarnya nyaman di mata?
Mari kita “review” UX dari sesi dongeng Kak Eklin.
- Display: Bukan layar AMOLED 2K. “Display”-nya adalah mata anak-anak yang berbinar, yang tadinya mungkin penuh keraguan, kini terbuka lebar penuh keajaiban. Resolusinya tak terbatas.
- Audio: Bukan dual stereo speaker dengan Dolby Atmos. “Audio”-nya adalah tawa lepas anak-anak yang meledak serempak, memecah kesunyian, dan menjadi musik terindah di desa itu.
- Haptic Feedback: Bukan getaran motorik di controller game. “Haptic”-nya adalah tepukan tangan yang riuh, pelukan spontan dari anak-anak setelah cerita selesai, dan rasa aman yang tiba-tiba hadir di ruangan itu.
- Konektivitas: Lupakan Wi-Fi 7. Ini adalah koneksi heart-to-heart. Jaringan peer-to-peer paling murni antara pendongeng dan pendengarnya. Latency-nya nol. Pesan damai terkirim dan diterima dalam real-time.
Aku melihat foto-fotonya. Aku membaca kisah-kisahnya. Dan aku sadar, tidak ada satupun flagship seharga 30 juta rupiah yang bisa memberikan UX sekaya dan sedalam ini. Apa yang dilakukan Kak Eklin adalah puncak dari desain pengalaman. Ia tidak hanya memberikan informasi, ia menciptakan transformasi.

Sertifikasi “Editor’s Choice”: SATU Indonesia Awards 2018
Di dunia gadget, penghargaan tertinggi mungkin datang dari MKBHD, atau “Best of CES”. Di dunia nyata yang memberikan dampak, ada pengakuan yang jauh lebih bergengsi.
Pada tahun 2018, dedikasi, keringat, dan hati besar Kak Eklin ini mendapatkan validasi nasional. Ia dianugerahi apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra.
Ini bukan sekadar piala. Ini adalah “sertifikasi” resmi dari bangsa ini yang mengatakan: “Apa yang kamu lakukan, Kak Eklin, itu PENTING. Itu BERDAMPAK.” Ini adalah “Editor’s Choice” untuk kategori Pahlawan Kemanusiaan. Penghargaan ini adalah penanda bahwa di tengah gempuran digitalisasi, “teknologi” analog berupa dongeng yang tulus masih memegang peranan krusial, terutama di wilayah-wilayah yang paling membutuhkannya.
Penutup: Refleksi Seorang Tech-Storyteller
Jadi, apa kesimpulan dari “review” ini?
Bagi saya, Aisy si reviewer gadget, kisah Kak Eklin adalah sebuah tamparan lembut. Ini mengingatkanku bahwa alat tercanggih yang kita miliki bukanlah smartphone di kantong kita, tapi hati, suara, dan imajinasi kita. Gadget itu alat bantu, tapi impact sejatinya ada di tangan si pengguna.
Sebagai “Kak Aisyah”, si pendongeng, Kak Eklin adalah inspirasiku selain Ayahku. Dia adalah termasuk seniorku dalam “profesi” ini, seorang master yang telah mendedikasikan hidupnya untuk misi yang jauh lebih besar. Dia mengingatkanku bahwa mendongeng bukan cuma soal bikin anak tertawa, tapi soal membentuk jiwa.
Kisah Kak Eklin Amtor de Fretes adalah “produk” dengan rating bintang 5 dari 5. Build quality-nya adalah ketulusan. Software-nya adalah kearifan. Dan impact-nya… tak ternilai.
Mungkin, kita semua perlu sesekali “Lali Gadget” (seperti di artikelku yang lain) dan beralih ke “gadget” tertua kita: cerita. Karena di situlah “koneksi” kita yang paling sejati berada.
Terima kasih, Kak Eklin. Kakak sudah memberi kami “spesifikasi” baru tentang apa artinya menjadi manusia. #APA2025-PLM #SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
Salam dari Malang, Aisy a.k.a Kak Aisyah (Tech Reviewer & Pendongeng Remaja)